Mahameru berikan damainya
Didalam mercu Arcapada...
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa..
Lagu Dewa 19 mengalun saat menyaksikan program acara di MetroTV Expedition siang tadi yang mengulas kegiatan pendakian Ferisa Djohan di gunung Rinjani... Ah, saya rindu masa lalu. Saya ingat, dahulu ada sebuah ritual yang tidak bisa tidak harus terpenuhi. Naik gunung. Kegemaran yang memiliki suatu romansa tersendiri. Bermula dari keikutsertaan menjadi anggota pecinta alam sekolah (SISPALA) dan PMR. Dan mencoba meneruskan pendidikan ke-alam-an dengan menjadi anggota salah satu KPA (Kelompok Pencinta Alam) dan KSR (Korps Sukarela) di Makassar.
Tidak bisa tidak, dari semua organisasi yang saya ikuti, pengaruh organisasi pecinta alam banyak memberi andil dalam hidup. Bukan berarti saya mengenyampingkan yang lain. Tetapi menjadi seorang pecinta alam membutuhkan konsekuensi yang tidak sedikit. Pengorbanan inilah yang selalu saya coba kenang.
Masa SMU mungkin masa dimana frekuensi ritual mendaki sangat tinggi. Dalam satu bulan bisa lebih dari dua kali menyambangi gunung-gunung di sekitar Sulawesi Selatan. ditengah pulau berjejer pegunungan dari arah selatan hingga ke utara diantaranya Pengunungan Bawakaraeng,Lompobattang, Ganda Dewata hingga Bulusaraung.
Dari kesemuanya yang sering dikunjungi adalah Gunung Bawakaraeng. Alasannya sederhana, sewaktu SMU tentunya uang saku tidak akan cukup mengakomodasi hobi ini, saya bersama teman-temanpun mengakalinya dengan mendaki Bawakaraeng yang dengan uang limabelas ribu perak sudah memenuhi hasrat akan sebuah kedekatan dengan alam karena jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Makassar. Saya merasa benar-benar menjadi manusia baru setiap pulang dari gunung ini. Merenung di desa Lembanna merupakan habituari yang tidak bisa tidak harus diluangkan. kabut berserak dibawah, langit dini hari yang memukau dan kesederhanaan Kanreapia dengan perkebunan sayur dan tehnya yang hijau bak permadani. Ada sesuatu yang tidak bisa terjabarkan dengan kata-kata. Entah. Mencintai Lembanna, memaknainya sebagai ruang pembelajaran.
Saya lantas teringat, sudah Lima tahun lebih tidak mendaki gunung. Gunung terakhir yang terjamah adalah Lompobattang. Bersama anak-anak Lembayung dan Kharisma. Tugu puncak Lompobattang selalu mengendap di pikiran, fotonya pun raib entah dimana tak seorangpun dari sobat-sobatku yang mengaku meyimpan kenangan tersebut yang dulu sengaja saya pasang di dinding. Sebagai pengingat, bahwa ada panggilan yang akan selalu memanggil. Saya menyukai perjalanan kala itu. Energi saya terpompa penuh. Dari duabelas orang, tiga diantaranya ambuk karena tidak kuat. Demi melihat keinginan saya untuk terus sampai ke puncak sebelum gelap, saya berusaha untuk tidak cepat putus asa demikianpun dengan teman-teman yang lainnya, Tetapi karena beban yang dibawa melebihi kapasitas kekuatan tubuh, beberapa diantaranya menyarankan untuk meneruskan keesokan harinya. Digunung tentu ego harus sedikit dikesampingkan. Akhirnya tenda pun didirikan. Saya sengaja tidur diluar sendirian. Ingin merasakan dingin, dingin yang sampai ke sumsum. esok harinya alam menampakkan keelokkannya. Sungguh, itulah keindahan. Di tenda tempat kami berteduh kami dapat menyaksikan segala kebesarannya. Subuh pun terawali dengan sujud yang terasa dalam. Mengutip kata seorang bijak, bahwa di ketinggian gununglah, kedekatan kita dengan tuhan bisa semakin nyata. Saya akui itu.
Dan kini, mungkin saya sudah tidak kuat lagi mendaki sampai puncak. Kegiatan selama ini lebih banyak berkutat pada rutinitas kerja. Berenang dan jogging pun jarang diakukan lagi. Penyakit banyak berdatangan, semakin sering insomnia. Mungkin tubuh saya sudah berontak ingin mendaki lagi. Malam ini, pukul sepuluh malam, saya merindui gunung. Hidup terasa belum berimbang. Kapan saya bisa mengulang romantisme itu lagi, sebelum berpulang?
Mendaki melintas bukit...
Berjalan lebih menahan berat beban
Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo
Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankan berakhir....
(Mahameru, Dewa 19)